TUGAS KELOMPOK
Pemikiran Politik Thomas Hobbes; Civil Society &Kekuasaan Politik
John Locke
Sebagai
salah satu syarat untuk menempuh mata kuliah Sejarah Politik
Pengampu
: Kian Amboro, S.Pd., M.Pd.
.
Disusun Oleh :
Kelompok 5
Cici Eliya Melawati 14220024
Apri Triyanto 14220022
Rendra Dwi Prabowo 14220033
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH METRO
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
JURUSAN PENDIDIKAN ILMU PENGETAHUAN
SOSIAL
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN SEJARAH
Maret 2016
KATA PENGANTAR
Puji
dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena atas segala
limpahan rahmat dan pertolongan-NYA, akhrnya kami dapat menyelesaikan makalah
yang berjudul “Pemikiran
Politik Thomas Hobbes; Civil Society
&Kekuasaan Politik John Locke”.
Dengan
tersusunnya makalah ini, kami selaku penulis mengucapkan terima kasih kepada
dosen mata kuliah dan semua pihak yang telah membantu hingga terselesaikannya
makalah ini tepat pada waktunya.
Kami
menyadari sepenuhnya bahwa dalam penyusunan makalah ini jauh dari sempurna.
Oleh karena itu, kritik dan saran diharapkan guna perbaikan penulisan
berikutnya. Semoga penulisan makalah ini
dapat bermanfaat bagi semuanya.
Metro,
Maret 2016
Penulis
BAB
I
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang
Filsafat politik lahir dari filsafat praktis dan telah ada sejak zaman
Yunani Kuno. Sehingga filsafat politik dan filsafat umum tampak saling
keterikatan. Ada pengertian lain yang lebih fundamental tentang keterkaitan
yang erat antara filsafat politik dengan filsafat pada umumnya. Filsafat
dipahami sebagai usaha mengejar kebenaran hingga ke akar-akarnya, meskipun
kualitas esensial tentang apa yang
politis (political) mulai
mendapat perhatian di kalangan para ahli teori politik dan pokok masalah (subject
matter) filsafat politik mulai terbentuk dengan menentukan keterkaitannya
dengan apa yang dianggap ”publik” (Russel, 2004). Akan tetapi, karena filsafat
digambarkan sebagai usaha sistematis untuk memahami prinsip yang mendasari
semua hal, penyelidikan tentang apa yang ’politis’ (political) dianggap
harus membentuk bagian dari usaha berfilsafat secara umum. Karena itu, filsafat
politik dapat dilihat sebagai usaha para filsuf dalam memberikan panduan dan
jawaban untuk menanggapi masalah yang menjadi perhatian masyarakat secara
keseluruhan, yaitu masalah publik atau politik.
Filsafat politik sudah terpikirkan sejak era Yunani kuno. Hingga sekarang
filsafat politik terus mengalami perkembangan. Filsafat politik di dalam
perjalanannya semenjak era Yunani Kuno, kemudian melewati Abad Pertengahan, Abad
Renaisans, Abad Pencerahan, Abad Modern hingga dewasa ini memunculkan berbagai
karya dan pemikiran besar dari para ahli. Adapun para filsuf yang hadir di era
masing-masing menyumbangkan pemikiran mereka tentang negara, kekuasaan, hingga
idealisme-idealisme yang menurut mereka perlu dipahami dan diimplementasikan
dalam kehidupan sehari-hari masyarakat. Salah satu filsuf yang mencuat pada era
pencerahan yaitu John Locke (1632) yang terkenal dengan sumbangan karyanya
tentang pandangan terhadap negara. Karya pemikirannya terhimpun dalam sebuah
buku yang berjudul Two Treatises of Civil Government. Selain John Locke, ada pula filsuf yang
memiliki andil dalam pemikiran politik barat, yakni Thomas Hobbes dengan
pemikirannya bahwa negara sebagai Leviathan yang juga telah memaparkan
pemikirannya ke dalam buku Leviathan.
B. Rumusan
Masalah
1.
Bagaimana
Pemikiran Kekuasaan Negara Menurut Thomas Hobbes?
2.
Bagaimana
Kekuasaan Negara Menurut John Locke?
C. Tujuan
1. Untuk Mengetahui Pemikiran Kekuasaan
Negara Menurut Thomas Hobbes.
2. Untuk Mengetahui Kekuasaan Negara
Menurut John Locke.
BAB
II
PEMBAHASAN
A. Kekuasaan
Negara Menurut Thomas Hobbes
a.
Latar
Belakang Kehidupan Thomas Hobbes
Hobbes adalah pemikir yang lahir dan mengalami proses intelektualisasi
dalam situasi sosial-politik yang anarkis pada abad XVII. Sejak awal hidupnya
sampai akhir hayatnya, perang agama, perang sipil, konfrontasi raja dengan
parlemen (rakyat) terjadi terus-menerus. (Suhelmi, 2001). Kekejaman,
kebengisan, dendam mewarnai kehidupan Hobbes. Bahkan Hobbes melukiskan dirinya
sebagai saudara kembar rasa takut. Hobbes dilahirkan ibu nya dengan kondisi
prematur, karena rasa takut ibunya akan kedatangan armada spanyol ke inggris.
Ketika lahir ratu Elizabeth I sedang
sibuk menaklukan katolisisme. Penganut agama ini ditindas dengan kejam, dan
terjadi pula penaklukan Irlandia dan Skotlandia menjadi bagian dari
Inggris-Raya (Great Britain). Hobbes dilahirkan dalam keluarga miskin,
ayahnya seorang pendeta mengirimkan Hobbes ke pamannya yang kaya, sehingga
Hobbes bisa berkuliah di Universitas Oxford. Ketika Hobbes berusia senja, 1649,
ia menyaksikan konflik antara raja Charles I dengan parlemen yang berakhir
dengan kekalahan raja.
Akhirnya raja dipenggal atas perintah Cromwell. Inggis pasca kematian raja
Charles I menjadi negara yang diperintah oleh sebuah komisi, tidak lagi
dipandang sebagai negara yang adikuasa dan lemah. Luka-luka sejarah tersebut
memaksa Hobbes untuk mencari solusi bagaimna konflik bisa dihindari dan
tercipta perdamaian hakiki, maka dari itu Hobbes mengemukakan hipotesa nya
sebagai berikut: Pertama, salah satu penyebab terjadinya perang agama,
konflik sosial, sipil, dan sebagainya karena lemahnya kekuasaan negara.
Kekuasaan negara terbelah. Di Inggris misalnya, kekuasaan negara terbelah
menjadi dua, kekuasaan raja dan kekuasaan parlemen. Kedua, perang
dan konflik tidak akan terjadi apaila kekuasaan mutlak dan sentral. Demokrasi
menurut Hobbes adalah suatu malapetaka politik yang harus dihindari, sebab
kekuasaannya terbagi-bagi. (Suhelmi, 2001). Dari hipotesa dan pengamatan
tersebut, Hobbes berkesimpulan: Pertama, menata masyarakat
berdasarkan prinsip-prinsip normatif seperti agama dan moralitas tidak mungkin.
Karena prinsip tersebut hanya merupakan kedok-kedok emosi dan hawa nafsu hewani
yang paling rendah. Kedua, masyarakat bisa mewujudkan
perdamaian hanya apabila mampu mengenyahkan nafsu-nafsu rendah itu. Damai bisa
terwujud apabila manusia terbebas dari hawa nafsunya.
b.
Pemikiran
Kekuasaan Negara menurut Thomas Hobbes
Disni Hobbes
mengibaratkan Negara sebagi Leviathan sejenis monster (makhluk
raksasa) yang ganas, menakutkan dan bengis yang terdapat dalam kisah perjanjian
lama. Dimana makhluk ini selalu mengancam keberadaan makhluk-makhluk lainnya. Leviathan tidak hanya ditakutki, tapi
juga dipatuhi segala perintahnya. Negara Leviathan
harus kuat, bila lemah akan timbul anarki, perang sipil mudah meletus dan dapat
mengakibatkan kekuasaan negara terbelah. Sedangkan pandangan Hobbes tentang
manusia adalah pusat segala persoalan sosial dan politik. Hobbes dalam keadaan
alamiah setara, manusia bisa bertindak semata-mata mengikuti
keinginan-keinginan dirinya, yaitu memuaskan hawa nafsunya. Maka menurut Hobbes
kehidupan manusia hanyalah suatu usaha terus menerus memuaskan hawa nafsu dan
mencari kebahagiaan dan menghindari apa yang tidak disukai. Kecenderungan itu
semakin kuat mengingat manusia pada dasarnya adalah makhluk pemburu sosial.
Terbentuknya sebuah negara atau kedaulatan pada hakikatnya kontrak sosial,
dalam istilah Hobbes covenant. Negara versi Hobbes ini juga tidak
memiliki tanggung jawab apapun terhadap rakyat dan juga negara memiliki
kekuasaan mutlak, kekuasaannya tidak boleh terbelah. Hobbes juga tidak
menyetujui dengan demokrasi atau sejenis dewan rakyat, sebab negara demokrasi
menuntut adanya pluralisme politik, termasuk dalam arti adanya berbagai
pusat-pusat kekuasaan.
B. Kekuasaan Negara menurut John Locke
1.)
Latar
Belakang Kehidupannya John Locke
Locke
dilahirkan 29 Agustus 1632 di Wrington, Inggris Barat. Ayahnya pengacara yang
tidak begitu kaya. Masa-masa kecil Locke di Inggris, seperti yang dialami
Hobbes, adalah masa tragis dan ironis. Inggris sebagaimana banyak negara Eropa
abad XVII dilanda perang saudara dan perang agama antara kaum Protestan dan Katolisisme.
Ketika ia berumur 10 tahun terjadi perang antara kaum puritan dan Raja Charles
I. Ayah Locke berpihak pada kaum puritan. Semenjak kejadian kekerasan dan
perang tersebut, Locke mulai memahami betapa pentingnya apresisasi terhadap
kebebasan, demokrasi, pembatasan kekuasaan dan toleransi agama. Locke pernah
dididik oleh guru-guru yang berhaluan politik royalis, musuh kaum puritan. Raja
charles digulingkan oleh kaum puritan, dan dieksekusi. Eksekusi tersebut
membuat kalangan muda bersimpati kepada kaum royalis, termasuk Locke.
Sosialisasi
keluarga Locke yang menganut paham puritan dan pendidikan royalis membuat Locke
beruntung mampu mengambil manfaat dari keduanya. Ketika umur 20 tahun Locke
berkuliah di Universitas Oxford dan berkenalan dengan Edward Baghshawe yang
merupakan aktifis toleransi agama, kebebasan politik dan sebagainya. Edward pun
mempengaruhi pemikiran Locke. Locke menyerang argumen-argumen Liberalisme Edward,
dan pada saat itu Locke masih bersifat konservatif. Dan akhirnya Edward gagal
mempertahankan argumennya. Setelah Edward meninggal dunia, Locke secara
perlahan mulai menyetujui argumennya tersebut. Locke mengajar filsafat
tradisional Aristoteles yang dianggapnya hanya membuang waktu, dan mulai
mempelajari teori-teori politik dan studi ekonomi. Selanjutnya Locke
mempelajari filsafat Descartes dan mulai terjun dalam kegiatan politik di
Inggris. Locke dan koleganya dituduh sebagai pemberontak penggulingan raja
Inggris dan penghujatan agama. Hingga keadaan itu memaksa Locke harus mengungsi
ke negeri Belanda. Dan selama dipengungsian itulah Locke melahirkan karya-karya
monumentalnya seperti Two Treatises Of Government.
2.)
Pemikiran Kekuasaan
Negara menurut John Locke
Kehidupan
politik di Inggris saat itu didominasi oleh doktrin monarki absolut, karena
monarki absolut diyakini sebagai jawaban atas permasalahan-permasalahan
kekacauan sosial-politik-agama pada saat itu, dan Hobbes dalam Leviathan mengamini pandangan ini.
Monarki absolut didasari oleh kepercayaan bahwa kekuasaan mutlak raja bersifat
ilahiah, dan suci. Kepercayaan ini dinamakan hak ketuhanan raja dalam sejarah
pemikiran politik Barat. Jauh sebelumnya, doktrin semacam itu memperoleh
legitimasi teologis dari ajaran-ajaran alkitab sebagaimana dalam pemikiran
Agustinus atau Aquinas. Mereka berpendapat bahwa kekuasaan sekuler bersifat
temporer (sementara) dan kekuasaan Tuhan atau gereja bersifat mutlak berasal
dari Tuhan. Para teoritisi pembela hak ketuhanan raja beranggapan bahwa monarki
absolut merupakan bentuk terbaik.
Ø Pertama, karena monarki absolut berasal pada tradisi otoritas
paternal,
Ø kedua, monarki absolut merupakan replika dari kerajaan tuhan.
Ø Ketiga, monarki absolut merupakan cermin kekuasaan tunggal
ilahi atas segala sesuatu.
Locke
merupakan penentang monarki absolut karena tidak sesuai dengan civil society. Dan pembela absolutisme
monarki yaitu Filmer, yang juga musuh intelektual Locke. Dalam karya Filmer, Patriarcha,
berisi pembelaan monarki dan hak ketuhanan raja. Dan Filmer menulis bahwa
kekuasaan raja Inggris bersifat turun temurun, kekuasaan tersebut tidak
diperoleh dari adanya perjanjian dirinya dengan masyarakat (kontrak sosial)
sesuai yang diungkapkan Locke, Hobbes, Rousseau. Filmer beranggapan bahwa Tuhan
menciptakan manusia berbeda-beda, karena perbedaan itu maka ada manusia yang
lebih cerdas, berkuasa dan kaya. Dan Locke menentangnya, Locke beranggapan
bahwa manusia dilahirkan sederajat dan merdeka, tidak ada perbedaan. Pada saat
yang sama, Filmer mengatakan bahwa kebebasan dan kemerdekaan merupakan dosa
yang tak terampuni. Tuntutan kebebasan itu menurut Filmer yang menyebabkan
kejatuhan adam dan hawa dari surga ke neraka dunia, jika kebebasan masih ingin
ditegakan maka keturunan adam dan hawa akan kejatuh ke lubang yang sama juga.
Menurut Locke ada kesalahan Filmer dalam menafsirkan alkitab, ia mengatakan
bahwa didalam alkitab atau perintah tuhan terdapat aturan yang membahas tentang
kontrol politik penguasa. Dan pembatasan itu bersifat sekuler. Kekuasaan
menurut Filmer memang berasal dari Tuhan, tetapi menurut Locke, kekuasaan
berasal dari suatu perjanjian (kontrak) antara masyarakat dengan penguasa.
Karena kekuasaan berasal dari kesepakatan masyarakat, tidak bersifat mutlak.
Menurutnya
asal-muasal pemerintahan berasal dari keadaan alamiah. Dalam keadaan alamiah
itu terdapat hukum Tuhan. Locke berbeda dengan Hobbes, Locke merumuskan keadaan
alamiah berdasarkan sudut teologis. Keadaan alamiah yang dimaksud Locke ialah
pada dasarnya manusia baik, dan selalu terobsesi untuk berdamai dan menciptakan
perdamaian, saling tolong-menolong, dan sudah mengenal hubungan-hubungan
sosial. Manusia dalam keadaan alamiah tidak bersifat merusak kehidupan,
kesehatan, kebebasan dan hak-hak pemilikan manusia yang lainnya. Locke percaya
bahwa naluri akal selalu menuntun manusia berperilaku rasional dan tidak
merugikan orang lain. Nalar, pada saat itu merupakan suatu kesatuan hukum yang
abstrak yang mengatur hubungan-hubungan yang tidak merugikan orang lain. Locke
menyebut akal sebagai ‘suara Tuhan.’ Keadaan alamiah yang damai tersebut
berubah ketika manusia menemukan sistem moneter dan uang.
Penemuan
tersebut menyebabkan terjadinya proses akumulasi kapital, dan pembenaran
hak-hak kepemilikan. Ketika pada masa keadaan alamiah manusia selalu mencukupi
kebutuhannya secara tidak berlebih (secukupnya). Tetapi ketika kapital, uang
dan sistem moneter datang, manusia cenderung mencukupi kebutuhannya secara
berlebihan dan timbullah perilaku hedonistik dan konsumtif karena akumulasi
kapital berlebih. Sehingga nilai-nilai nalar akal tergantikan oleh faham
kebendaan (materialis) dan sifat pragmatis. Manusia pada kondisi tersebut
timbul rasa kecemasan akan perlindungan dirinya dan harta yang diperolehnya
dengan kerja keras, memang Tuhan telah menakdirkan manusia terlahir dalam
kondisi yang setara, tetapi dalam prosesnya terdapat pembagian yang memisahkan
antara satu dan yang lainnya yaitu berupa ketekunan, kerajinan, bekerja keras dan
sebagainya, sehingga dengan sendirinya menimbulkan kesenjangan. Akhirnya
didasarkan pada kecemasan tersebut lahirlah kontrak sosial, yaitu perjanjian
antara individu-individu untuk membentuk lembaga yang dapat melindungi
kebebasan tersebut yaitu berupa negara (masyarakat politik).
Kekuasaan
negara menurut Locke pada hakikatnya dibentuk untuk menjaga hak-hak pemilikan.
Dalam keadaan alamiah, hak-hak kepemilikan belum ada. Hak kepemilikan individu
baru muncul manakala individu bekerja keras mengolah apa yang telah diberikan Tuhan
itu. Jadi perbedaan pemilikan ditentukan oleh kerja individu. Menurut Locke,
kekuasaan negara terbentuk dari consent
rakyat dan produk perjanjian sosial warga negara, maka kekuasaan itu tidak
bebas dan otonom berhadapan dengan aspirasi kehendak rakyat. Hubungan antara
penguasa politik dengan rakyat yang diperintah analog dengan seorang yang
memberikan kepercayaan kepada orang lain untuk mengatur dirinya. Negara hanya
bertindak dan berbuat sejauh bertujuan untuk melaksanakan tujuan yang
dikehendaki rakyat dan tugas negara tidak boleh melebihi apa yang menjadi
tujuan rakyat. Negara tidak dibenarkan mencampuri segala hal yang menyangkut
kepentingan rakyat. Peran negara dalam mengatur kehidupan harus dibatasi
seminimal mungkin. Karena menurut Locke, rakyat mampu mencari cara bagaimana
mengatasi persoalan-persoalan yang dihadapinya. Dominasi negara secara
berebihan terhadap rakyat, hanya akan menghilangkan hak-hak rakyat. Hak-hak itu
telah ada sebelum negara terbentuk. Itulah yang dinamakan hak asasi (HAM).
Hak-hak itu antara lain, hak hidup, hak memiliki kekayaan, hak bebas beragama,
dan hak untuk memberontak apabila kekuasaan negara tiranik. Locke menegaskan
bahwa terbentuknya kekuasaan politik adalah untuk melindungi dan menjaga
kebebasan sipil. Sehingga lahirlah apa yang disebut dengan konstitusi untuk membatasi
kekuasaan negara.
Konstitusi
teramat penting karena memuat aturan-aturan pembatasan kekuasaan dan hak-hak
asasi masyarakat. Aturan konstitusi tidak boleh dilanggar penguasa, apabila
dilanggar akan berarti hancurnya legitimasi penguasa terhadap rakyat. Kekuasaan
negara harus dibatasi dengan cara mencegah sentralisasi kekuasaan kedalam satu
lembaga, maka dari itu locke membagi kekuasaan menjadi tiga bentuk: kekuasaan
Eksekutif, Legislatif dan Federatif. Eksekutif adalah kekuasaan yang
melaksanakn undang-undang, sedangkan Legislatif ialah yang membuat undang-undang.
Hakikatnya kekuasaan Legislatif merupakan manifestasi dari pendelegasian
kekuasaan rakyat terhadap negara. Legislatif merupakan representasi semua kelas
sosial masyarakat. Undang-undang yang dibuat Legislatif mengikat kekuasaan Eksekutif,
sehingga ketika dideskripsikan ialah, kekuasaan Legislatif berada diatas
kekuasaan Eksekutif. Jadi secara tidak langsung dapat dipahami, bahwa
Legislatif dapat mengontrol Ekskutif dalam menjalani tugasnya, dan Legislatif
menurut Locke diawasi dan dikontrol oleh hukum kodrat. Tetapi tidak menutup
kemungkinan bahwa Eksekutif dapat mengontrol Legislatif dalam menjalani
tugasnya. Apabila Legislatif menjalani fungsi-fungsi Eksekutif maka akan
terjadi sentralisasi kekuasaan, maka dari itu Eksekutif pun dapat mengontrol Legislatif.
Selanjutnya
kekuasaan Federatif ialah kekuasaan yang berkaitan dengan hubungan luar negeri.
Ketika Eksekutif dan Legislatif tidak menjalani tugasnya, maka dibenarkan
menggunakan kekerasan sebagai solusi. Jadi rakyat boleh melawan kekuasaan
tersebut, karena tidak sesuai dengan amanah rakyat. Amerika Serikat menerapkan
teori Locke, sehingga dari teori-teori tersebut menghasilkan apa yang disebut checks
and balances. Selanjutnya Locke melihat agama, ialah dengan gagasan
toleransi agama dan kebebasan beragama. Karena pada hakikatnya manusia terlahir
bebas dan merdeka, sehingga dalam memilih agama, manusia dapat memilihnya
sesuai dengan caranya sendiri.
Locke
percaya bahwa jalan menuju Tuhan ialah secara pluralistik, bukan monolistik.
Sehingga dalam menjalani prosesinya tidak merasa terpaksa, dan implikasinya
ialah toleran terhadap agama-agama atau sekte lain, karena mereka dapat
memahami satu dengan yang lainnya bahwa kebebasan menuju tuhan ditentukan oleh
dirinya masing-masing. Locke berpendapat bahwa agama ditempatkan pada ruang
private, bukan ruang publik kenegaraan (sekuler). Karena masyarakat
politik dan masyarakat gereja pada umumnya sangat berbeda dan bertolakan,
sehingga tidak dapat disatukan. Gereja harus mengajarkan menanamkan benih cinta
kasih terhadap seluruh umat manusia baik yang se-iman atau tidak. Gereja pun
dilarang menggunakan kekerasan fisik, gereja hanya boleh memberikan hukuman
berupa mengucilkan dan mengisolasikan pelaku penodaan agama dan penanaman
permusuhan terhadap agama. Gereja pun dilarang memasuki kawasan politik, dan
politik dilarang memasuki wilayah gereja.
Dari
pemahaman materi yang telah dibahas di atas mengenai kekuasaan negara, maka
al-Qur’an pun memiliki pemahamannya tersendiri mengenai pemahamannya dalam
politik, seperti : “Sesungguhnya Allah memerintahkan kamu menunaikan amanat
kepada yang berhak menerimanya dan (memerintahkan kebijaksanaan) di antara kamu
supaya menetapkannya dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang
sebaik-baiknya kepada kamu. Sesungguhnya Allah maha mendengar lagi maha
melihat. Wahai orang-orang yang beriman Taatilah Allah, taatilah rasul, dan
ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berselisih tentang sesuatu, maka
kembalikan kepada Allah (al-Qur’an) dan Rasul (Sunnah) jika kamu benar-benar
beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu)
lagi lebih baik akibatnya “(QS. An-Nisa : 58-59).
BAB
III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Dari penjabaran tentang pemikiran dua filsuf yakni Thomas Hobbes dan John
Locke tentang kekuasaan negara, penulis menyimpulkan bahwa kedua filsuf
tersebut memiliki pemikiran yang berbeda antara satu sama lain. Hal tersebut
dapat dilihat dari cara pandang mengenai negara berdasarkan keadaan alamiah.
Hobbes yang lebih menekankan bahwa keadaan manusia yang diibaratkan sebagai
serigala yang memangsa serigala lain demi mencapai kepentingannya
masing-masing, sehingga Hobbes yang beraliran realis ini menyumbangkan
pemikirannya tentang Leviathan untuk mendeskripsikan negara. Dalam Leviathan
sendiri Hobbes menjabarkan bagaimana penguasa dengan legitimasi mutlaknya
dapat mengontrol penuh sebuah negara beserta masyarakatnya. Berbeda dengan
Hobbes, John Locke lebih menekankan bahwa wewenang kekuasaan ada pada
masyarakat. Dengan begitu, kewajiban dan kepatuhan politik masyarakat kepada
pemerintah hanya berlangsung selama pemerintah masih dipercaya. Apabila
hubungan kepercayaan (fiduciary trust)
putus, pemerintah tidak mempunyai dasar untuk memaksakan kewenangannya, karena
hubungan kepercayaan maupun kontraktual sifatnya adalah sepihak.
B.
Saran
Meskipun kedua tokoh
tersebut memiliki pendapat yang berbeda antara Thomas Hobbes dan John Locke,
tetapi keduanya merupakan seorang tokoh politik yang sangat penting dan sangat
berpengaruh di negara Eropa, terutama bagi negara-negara Eropa yang menerapkan
pemikiran dari kedua tokoh tersebut. Meskipun sepertinya terlihat bahwa teori
politik dari John Locke yang lebih baik karena sudah menghargai adanya HAM,
namun kita tidak bisa langsung sepihak memutuskan bahwa pemikiran Thomas Hobbes
tidak baik karena yang baik bagi kita belum tentu baik bagi orang lain juga.
DAFTAR PUSTAKA
Magnis, Franz.
1999, Etika Politik, (Jakarta : Gramedia)
Syam, Firdaus. 2007. Pemikiran Politik Barat: Sejarah, Filsafat, Ideology dan Pengaruhnya
terhadap Dunia Ke-3, Jakarta: Bumi Aksara
Schmandt, Henry
J, Filsafat Politik (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005)
Kymlicka, Will. Pengantar Filsafat Politik Kontemporer: Kajian Khusus atas Teori-Teori
Keadilan penterjemah Agus Wahyudi (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004).
http://aguzssudrazat.blogspot.co.id/2012/05/pemikiran-politik-jhon-locke-dan-thomas.html
(diaksses 9 Maret 2016)
https://ilhamendra.wordpress.com/2009/03/17/pokok-pokok-pemikiran-john-locke-dalam-two-treatises-of-government/ (diakses 9 Maret 2016)
http://milisifahreza.blogspot.co.id/2012/11/john-locke-civil-society-and-kekuasaan.html
(diakses 9 Maret 2016)
http://ilfamutmainah.blogspot.co.id/2014/04/pemikiran-politik-nicollo-machiavelli.html
(diakses 9 Maret 2016)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar